LBH PENKUM RI, 23 Februari 2023
Dikutip dari DetikFinance.com. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melarang debt collector alias penagih utang menggunakan kekerasan saat menagih. Mengutip akun instagram resmi @ojkindonesia, Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) pun wajib mencegah pihak ketiga yang bekerja untuk atau mewakili kepentingan PUJK dari perilaku yang berakibat merugikan konsumen.
Termasuk penggunaan kekerasan dalam penagihan utang konsumen. Larangan tersebut diatur dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 6/POJK.07/2022.
“Hal ini tercantum dalam pasal 7 POJK Nomor 6/POJK.07/2022 Tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan,” dikutip Sabtu (15/10/2022).
Dalam POJK juga ditegaskan PUJK wajib mencegah Direksi, Dewan Komisaris, Pegawai atau pihak ketiga yang bekerja untuk atau mewakili kepentingan PUJK dari perilaku memperkaya atau menguntungkan diri sendiri atau pihak lain atau menylahgunakan kewenangan, maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya yang berkibat merugikan konsumen.
Contohnya mencantumkan pembatasan kewenangan atau larangan untuk memberikan atau memperdagangkan data atau informasi pribadi konsumen tanpa persetujuan dari konsumen kepada pihak lain dalam prosedur tertulis perlindungan konsumen, penggunaan kekerasan dalam penagihan utang konsumen.
Selain itu, debt collector dalam menjalankan proses penagihan dilarang keras melakukan 3 hal. Pertama, mengancam. Kedua, melakukan tindakan kekerasan yang bersifat mempermalukan. Ketiga, memberikan tekanan baik secara fisik maupun verbal.
Jika dilanggar, maka debt collector dikenakan sanksi hukum pidana. Sementara untuk PUJK yang menjalin kerja sama dengan debt collector itu bisa dikenakan sanksi oleh OJK berupa sanksi administratif antara lain peringatan tertulis, denda, pembatasan kegiatan usaha, hingga pencabutan izin usaha.
Selain itu, dalam proses penagihan, debt collector wajib membawa dokumen. Mulai dari kartu identitas, sertifikat profesi di bidang penagihan, surat tugas dari perusahaan pembiayaan, bukti dokumen debitur wanprestasi, salinan sertifikat jaminan fidusia.
“Seluruh dokumen tersebut digunakan untuk memperkuat aspek legalitas hukum dalam proses penagihan pinjaman sehingga mencegah terjadinya dispute,” tegas OJK.